Jumat, 17 Juni 2011

Bronchitis

Pengertian Bronkitis Kronis


Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).

Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.

Patofisiologi Bronkitis Kronis

Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.

Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis

Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia

2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar

3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.

4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat

Bronkiektasis

Pengertian Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)

Patofisiologi Bronkiektasis

Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.

Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.

Tanda dan Gejala Bronkiektasis

1. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak

2. Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan

3. Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil

Pemeriksaan Penunjang

Bronkografi
Bronkoskopi
CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
Emfisema

Pengertian Emfisema

Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).

Patofisiologi Emfisema

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.

Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.

Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.

Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.

Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pengertian Bronkitis Kronis

Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).

Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.

Patofisiologi Bronkitis Kronis

Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.

Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis

Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia

2. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar

3. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.

4. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat

Bronkiektasis

Pengertian Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)

Patofisiologi Bronkiektasis

Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.

Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.

Tanda dan Gejala Bronkiektasis

1. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak

2. Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan

3. Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil

Pemeriksaan Penunjang

Bronkografi
Bronkoskopi
CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
Emfisema

Pengertian Emfisema

Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).

Patofisiologi Emfisema

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.

Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.

Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.

Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.

Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Tanda dan Gejala Asma

Batuk
Dispnea
Mengi
Hipoksia
Takikardi
Berkeringat
Pelebaran tekanan nadi
Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma

2. Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik

3. AGD : hipoksi selama serangan akut

4. Fungsi pulmonari :

Biasanya normal
Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun
Asuhan Keperawatan PPOM

Pengkajian

Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit :

Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?
Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?
Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :

Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
Apakah tampak sianosis?
Apakah vena leher pasien tampak membesar?
Apakah pasien mengalami edema perifer?
Apakah pasien batuk?
Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
Bagaimana status sensorium pasien?
Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Diagnosa Keperawatan PPOM

a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.

b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi

c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea

d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi

e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.


Intervensi PPOM

a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.

Intervensi :

Mandiri

Auskultasi bunyi nafas
Kaji frekuensi pernapasan
Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot bantu pernapasan
Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
Dorong latihan napas abdomen
Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
Berikan air hangat
Kolaborasi :

Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV dan inhalasi, antimikrobial, analgesik
Berikan humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik
Fisioterapi dada
Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi

Mandiri :

Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu pernapasan
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernapas
Kaji kulit dan warna membran mukosa
Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan
Auskulatasi bunyi nafas
Palpasi fremitus
Awasi tingkat kesadaran
Batasi aktivitas pasien
Awasi TV dan irama jantung
Kolaborasi :

Awasi GDA dan nadi oksimetri
Berikan oksigen sesuai indikasi
Berikan penekan SSP (antiansietas, sedatif atau narkotik)
Bantu intubasi, berikan ventilasi mekanik
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea

Intervensi :

Mandiri :

Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
Auskultasi bunyi usus
Berikan perawatan oral sering
Berikan porsi makan kecil tapi sering
Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
Timbang BB
Kolaborasi :

Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi

Intervensi :

Awasi suhu
Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan msukan cairan adekuat
Observasi warna, karakter, bau sputum
Awasi pengunjung
Seimbangkan aktivitas dan istirahat
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
Kolaborasi :

Dapatkan spesimen sputum
Berikan antimikrobial sesuai indikasi
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.

Jelaskan proses penyakit
Jelaskan pentingnya latihan nafas, batuk efektif
Diskusikan efek samping dan reaksi obat
Tunjukkan teknik penggunaan dosis inhaler
Tekankan pentingnya perawatan gigi /mulut
Diskusikan pentingya menghindari orang yang sedang infeksi
Diskusikan faktor lingkungan yang meningkakan kondisi seperti udara terlalu kering, asap, polusi udara. Cari cara untuk modifikasi lingkungan
Jelaskan efek, bahaya merokok
Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas, aktivitas pilihan dengan periode istirahat
Diskusikan untuk mengikuti perawatan dan pengobatan
Diskusikan cara perawatan di rumah jika pasien diindikasikan pulang

ASKEP Pertusis


I.       LANDASAN TEORI
A.    PENGERTIAN
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992)
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993)
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk rejan. (Mansjoer, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2003)
Pertusis adalah infeksi bakteri pada saluran pernafasan yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking.

B.     ETIOLOGI
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya sebagai berikut :
Ø  Bordetella pertussis (Hemophilis pertusis).
Ø  Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh bordetella para pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus.
Adapun cirri-ciri organisme ini antara lain :
1.            Berbentuk batang (coccobacilus)
2.            Tidak dapat bergerak
3.            Bersifat gram negative.
4.            Tidak berspora, mempunyai kapsul
5.            Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6.            Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
7.            Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin
8.            Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a.             Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b.            Endotoksin (lipopolisakarida)

C.     PATOFISIOLOGI
Peradangan terjadi pada lapisan mukosa saluran nafas. Dan organisme hanya akan berkembang biak jika terdapat kongesti dan infiltrasi mukosa berhubungan dengan epitel bersilia dan menghasilkan toksisn seperti endotoksin, perttusinogen, toxin heat labile, dan kapsul antifagositik, oleh limfosist dan leukosit untuk polimorfonuklir serta penimbunan debrit peradangan di dalam lumen bronkus. Pada awal penyakit terjadi hyperplasia limfoid penbronklas yang disusun dengan nekrosis yang mengenai lapisan tegah bronkus, tetapi bronkopnemonia disertai nekrosis dan pengelupasan epitel permukaan bronkus. Obstruksi bronkhiolus dan atelaktasis terjadi akibat dari penimbunan mucus. Akhirnya terjadi bronkiektasis yang bersifat menetap.
Cara penularan:
Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.






ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS

I.       PENGKAJIAN
A.    Pemeriksaan Fisik
a.       Aktivitas / istirahat
DS : Gangguan istirahat tidur, malaise.
DO : Lesu, pucat, lingkar mata kehitam-hitaman.
b.      Sirkulasi
DS : -
DO : Tekanan darah normal / sedikit menurun, takikardi, peningkatan suhu.
c.       Eliminasi
DS : BAB dan BAK normal
DO : BB menurun, turgor kulit kurang, membrane mukosa kering.
d.      Makanan dan cairan
DS : Sakit kepala, pusing.
DO : Gelisah
e.       Nyeri / kenyamanan
DS : Batuk pada malam hari dan memberat pada siang hari.
DO : Mata tampak menonjol, wajah memerah / sianosis, lidah terjulur dan pelebaran vena leher saat serangan batuk.
f.       Pernafasan
DS : Batuk Pilek
DO            :
Ø  Bunyi nyaring (whoop) saat inspirasi.
Ø  Penumpukan lender pada trachea dan nasopharing
Ø  Penggunaan otot aksesorus pernafasan.
Ø  Sputum atau lender kental.
Tahap Tumbuh Kembang
Berdasarkan perkembangan menurut DDST (Denver Developmental Screening Test)

B.     Pemeriksaan penunjang :
a.             Pembiakan lendir hidung dan mulut.
b.            Pembiakan apus tenggorokan.
c.             Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara 20.000-50.000 sel / m³darah.
d.            Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis.
e.             Tes ELISA (Enzyme – Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar secret Ig A.
f.             Foto roentgen dada memeperlihatkan adanya infiltrate perihilus, atelaktasis atau emphysema

II.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif b/d banyaknya mucus
2.      Pola napas tidak efektif b/d dispnea
3.      Gangguan pola tidur b/d aktivitas batuk
4.      Resiko kekurangan nutrisi. Factor resiko adanya mual dan muntah

III. INTERVENSI KEPERAWATAN
1.      Bersihan jalan napas tidak efektif b/d banyaknya mucus
Tujuan : status ventilasi saluran pernafasan baik, dengan cara mampu membersihkan secret yang menghambat dan menjaga kebersihan jalan nafas.
Kriteria hasil :
1.      Rata-rata pernafasan normal
2.      Sputum keluar dari jalan nafas
3.      Pernafasan menjadi mudah
4.      Bunyi nafas normal
5.      Sesak nafas tidak terjadi lagi
a.       Kaji frekuensi/ kedalamn pernafasan dan gerakan dada .
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal,dan gerakan dada tak simetriks sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan/ cairan paru
b.      Auskultasi area paru,catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi napas atventisius misalnya krekes,mengi.
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsulidasi dengan cairan. Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat juga terjadi pada area konsulodasi. Krekes,ronki,dan mengi terdengar pada inspirasi dan/ ekspirasi pada respon terhadap pengumoulan cairan, secret .d. Pengisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional : untuk menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan resiko keparahan

2.      Pola napas tidak efektif b/d dispnea
Tujuan : menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas atau bersih
Criteria hasil:
1.      Frekuensi pernapasan normal
2.      Bunyi paru jelas/bersih
3.      Kedalaman paru dalam rentang normal
4.      Bunyi napas normal
5.      Pengembangan dada normal antara inspirasi dan ekspirasi
a.       kaji frekuensi,kedalaman pernafasan, ekspansi dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi peningkatan kerja napas (pada awal /hanya tanda EP subakut). Kedalaman pernafasan biasanya bervariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan/ nyeri dada pleuritik.
b.      Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius, seperti krekels, mengi, gesekan pleural.
Rasional : bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap perdarahan,bekuan atau kolaps jalan napas kecil (atelaktasis). Ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan pernafasanf. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan bila diindikasikan.
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

3.      Gangguan pola tidur b/d aktivasi batuk
Tujuan : pasien dapat tidur dan istirahat sesuai kebutuhannya
Criteria hasil :
1.      Jam tidur setiap harinya tetap
2.      Pola tidur normal
3.      Kualitas tidur baik
4.      tanda-tanda vital normal
5.      kebiasaan tidur siang teratur
a.       kaji kebiasaan tidur klien sebelum dan sesudah tidur
Rasional : untuk mengetahui kebiasaan tidur klien serta gangguan yang dirasakan dan membantu dalam menentukan intervensi selanjutnya
b.      diskusikan kemungkinan penyebab gangguan tidur
Rasional : mengetahui penyebab gangguan tidur sehingga mempermudah intervensi selanjutnya
c.       Beri posisi yang nyaman
Rasional : posisi yang nyaman dapat meningkatkan relaksasi sehingga menstimulasi untuk tidure.Anjurkan keluarga klien untuk menciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
Rasional : lingkungan yang tenang dapat memberikan rasa nyaman sehingga menstimulasi klien untuk tidur.

4.      Resiko kekurangan nutrisi. Factor resiko adnya mual dan muntah
Tujuan : resiko kekurangan nutrisi tidak terjadi
Criteria hasil :
1.      Menunjukkan peningkatan nafsu makan
2.      Mempertahankan/ meningkatkan berat badan
a.       Identifikasi factor yang menimbulkan mual/muntah,misalnya sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnea berat ,nyeri.
Rasional : pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
b.      Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.berikan/bantu kebersihan mulut setelah muntah,setelah tindakan aerosol dan drainase postural,dan sebelum makan.
Rasional : menghilangkan tanda bahaya, rasa, bau dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual muntah
c.       Auskultasi bunyi usus. Observasi/palpasi distensi abdomen.
Rasional : bunyi usus mungkin menurun/tak ada bila proses infeksi berat/memanjang. Distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara atau menunjukkan toksin bakteri pada saluran GI

ASKEP Penyakit JAntung Reumatik


BAB I
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian Penyakit Jantung Reumatik
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang berulang atau kronis. (Heni Rokhaeni, SMIP, CCRN)
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR). (www.madupropolis.com)
Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A (contoh: Streptococcus pyogenes), bakteri yang bisa menyebabkan demam reumatik. (dr. Indiradewi Hestiningsih)

B.     Etiologi Penyakit Jantung Reumatik
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan ulang.

C.    Patogenesis
Streptokokus β hemolitikus grup A adalah kokus gram positif yang sering berkoloni di kulit dan orofaring. Organisme ini memiliki toksin hemolitik yaitu streptolysin S dan O. Hanya streptolysin O yang dapat menimbulkan respon antibodi yang persisten sebagai salah satu marker dari adanya infeksi streptokokus β hemolitikus grup A. Organisme ini juga dilindungi oleh surface protein pada dinding selnya yaitu M protein. Protein ini merupakan faktor virulen yang utama bagi streptokokus jenis ini.
Penyakit jantung reumatik terjadi pada anak dan dewasa muda biasanya setelah menderita faringitis akibat streptokokus β hemolitikus grup A. Organisme ini melekat dengan dinding sel epitel mukosa traktus respiratorius bagian atas dengan memproduksi enzim yang menyebabkan kerusakan dinding sel epitel sehingga ia dapat mengadakan invasi. Setelah fase inkubasi selama 2-4 hari, organisme yang telah menginvasi tersebut menyebabkan timbulnya respon inflamasi akut selama 3-5 hari yang ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise, sakit kepala dan peningkatan jumlah leukosit.
Pada penderita penyakit jantung reumatik terjadi kegagalan dalam mengisolasi organisme ini dari organ yang terinfeksi dalam bentuk apapun. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan sel pada pnyakit jantung reumatik bukan disebabkan secara langsung oleh mikroorganismenya melainkan oleh reaksi autoimunitas. Para ahli mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap streptokokus dengan otot jantung, dimana susunan antigen pada streptokokus β hemolitikus grup A mirip dengan susunan antigen otot jantung. Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun dan pada akhirnya menimbulkan kerusakan pada organ jantung secara keseluruhan.

D.    Patofisiologi
Menurut hipotesa Kaplan dkk (1960) dan Zabriskie (1966), penyakit jantung reumatik terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity antara jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh terinfeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen asing ini segera terbentuk reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen ini sama maka antibody tersebut akan menyerang juga komponen jaringan tubuh dalam hal ini sarcolemma myocardial dengan akibat terdapatnya antibody terhadap jaringan jantung dalam serum penderiat demam reumatik dan jaringan myocard yang rusak. Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian penyakit jantung reumatik ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus betahemolyticus grup A yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard.
Beberapa di antara berbagai antigen somatic streptococcal menetap untuk waktu singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang cukup lama. Serum imunologlobulin akan meningkat pada penderita sesudah mendapat radang streptococcal terutama Ig G dan A.
E.     Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada penyakit jantung reumatik bisa berupa manifestasi kardiak (jantung) dan non kardiak. Gejalanya antara lain:
A.      Manifestasi kardiak pada penyakit jantung reumatik
1.       (infeksi dan peradangan jantung) adalah komplikasi paling serius dan kedua paling umum dari demam reumatik (sekitar 50 %). Pada kasus-kasus yang lebih lanjut, pasien dapat mengeluh sesak nafas, dada terasa tidak nyaman, nyeri dada, edema (bengkak), batuk atau ortopneu (sesak saat berbaring)
2.       Pada pemeriksaan fisik, karditis (peradangan pada jantung) umumnya dideteksi dengan ditemukannya bising jantung (gangguan bunyi jantung) atau takikardia (jantung berdetak > 100x/menit) diluar terjadinya demam
3.       Manifestasi kardiak lain adalah gagal jantung kongestif dan perikarditis (radang selaput jantung)
4.       Pasien dengan diagnosis demam reumatik akut harus dikontrol sesering mungkin karena progresifitas penyakitnya
5.       Murmur (bising jantung) baru atau perubahan bunyi murmur. Murmur yang didengar pada demam reumatik akut biasanya disebabkan oleh insufisiensi katup (gangguan katup).
6.       Gagal jantung kongestif (Gagal jantung dapat terjadi sekunder akibat insufisiensi katup yang berat atau miokarditis (radang pada sel otot jantung) ).
7.       Perikarditis
B.      Manifestasi non kardiak dan manifestasi lain dari demam rematik akut antara lain:
1.       Poliartritis (peradangan pada banyak sendi) adalah gejala umum dan merupakan manifestasi awal dari demam reumatik (70 – 75 %). Umumnya artritis (radang sendi) dimulai pada sendi-sendi besar di ekstremitas bawah (lutut dan engkel) lalu bermigrasi ke sendi-sendi besar lain di ekstremitas atas atau bawah (siku dan pergelangan tangan). Sendi yang terkena akan terasa sakit, bengkak, terasa hangat, eritem dan pergerakan terbatas. Gejala artritis mencapai puncaknya pada waktu 12 – 24 jam dan bertahan dalam waktu 2 – 6 hari (jarang terjadi lebih dari 3 minggu) dan berespon sangat baik dengan pemberian aspirin. Poliartritis lebih umum dijumpai pada remaja dan orang dewasa muda dibandingkan pada anak-anak.
2.       Khorea Sydenham, khorea minor atau St. Vance, dance mengenai hampir 15% penderita demam reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem syaraf sentral pada proses radang. Penderita dengan khorea ini datang dengan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil. Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres. Penderita tampak selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahan-tahan dan meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar. Tulisan tangannya jelek dan ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap dengan garis yang ragu-ragu. Pada saat puncak gejalanya tulisannya tidak dapat dibaca sama sekali.
3.       Erithema marginatum merupakan ruam yang khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena kekhasannya tanda ini dimasukkan dalam manifestasi minor. Kelainan ini berupa ruam tidak gatal, makuler dengan tepi erithema (kemerahan) yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal, terjadi pada 5% penderita. Gangguan ini berdiameter 2,5 cm dan paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai bagian atas, tidak melibatkan muka. Erithema ini timbul sewaktu-waktu selama sakit, meskipun yang tersering adalah pada stadium awal, dan biasanya terjadi hanya pada penderita demam reumatik dengan karditis.
4.       Nodul subkutan. Frekuensi manifestasi ini menurun sejak beberapa dekade terakhir, dan kini hanya ditemukan pada penderita penyakit jantung reumatik khronik. Frekuensinya kurang dari 5%, namun pada penjangkitan di Utah nodulus subkutan ditemukan pada sampai 10% penderita. Nodulus (benjolan) ini biasanya terletak pada permukaan sendi, terutama ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang-kadangg nodulus ini ditemukan pada kulit kepala dan di atas tulang belakang. Ukurannya bervariasi dari 0,5 sampai dengan 2 cm serta tidak nyeri dan dapat digerakkan secara bebas; biasanya kecil dan menghilang lebih cepat. Kulit yang menutupi tidak pucat atau meradang. Nodulus ini muncul hanya sesudah beberapa minggu sakit dan kebanyakan hanya ditemukan pada penderita dengan karditis.
5.       Manifestasi lain dari demam reumatik antara lain nyeri perut, epistaksis (mimisan), demam dengan suhu di atas 39 °C dengan pola yang tidak karakteristik, pneumonia reumatik yang gejalanya mirip dengan pneumonia karena infeksi.
C.      Tromboemboli (sumbatan di pembuluh darah) bisa terjadi sebagai komplikasi dari stenosis mitral (gangguan katup).
D.      Anemia hemolitik kardiak bisa terjadi akibat pecahnya sel darah merah karena bergesekan dengan katup yang terinfeksi. Peningkatan penghancuran trombosit bisa juga terjadi.
E.       Aritmia atrium (gangguan irama jantung) biasanya terjadi karena pembesaran atrium kiri karena gangguan pada katup mitral.
F.     Komplikasi Klien dengan Penyakit Jantung Reumatik
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel jantung).














BAB II
MANAJEMEN KLIEN

A.    Penatalaksanaan Medis
Karena penyakit jantung rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus betahemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang tersebut. Ini dapat berupa :
a.       Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap penicillin.
b.      Obat anti rematik
Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR.
c.       Diet
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.
d.      Istirahat
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus Demam Reumatik minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu – 3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan perjalanan penyakit.
e.       Obat-obat Lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil dan lain-lain.
B.     Manajemen Diet
Tujuan diet pada penyakit jantung reumatik adalah memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air. Syarat-syarat diet pada penyakit jantung reumatik antara lain:
1.       energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang normal.
2.       protein yang cukup yaitu 0,8 gram/KgBB
3.       lemak sedang yaitu 25-30 % dari kebutuhan energi total (10 % dari lemak jenuh dan 15 % dari lemak tidak jenuh).
4.       vitamin dan mineral yang cukup.
5.       diet rendah garam (2-3 gram/hari).
6.       makanan mudah dicerna dan tidak menimbulkan gas.
7.       serat yang cukup untuk menghindari konstipasi.
8.       cairan cukup 2 liter/hari
bila kebutuhan gizi dapat dipenuhi melalui makanan maka dapat diberikan berupa makanan enteral, parenteral atau suplemen gizi.





















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

A.    Pengkajian Keperawatan
a.       Pengkajian Fisik
Pada pemeriksaan fisik, regurgitasi mitral akan memberikan manifestasi seperti: fasies mitral walaupun lebih jarang terjadi dibandingkan dengan stenosis mitral. Pada palpasi jantung, apeks biasanya terdorong ke lateral/kiri sesuai dengan pembesaran ventrikel kiri. Thrill pada apeks pertanda terdapatnya regurgitasi mitral berat. Juga bisa terdapat right ventricular heaving yang menandakan pembesaran ventrikel kanan.
Pada auskultasi terdengar bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila dan area infraskapular kiri. Bunyi jantung pertama biasanya bergabung dengan murmur. Umumnya normal, namun dapat mengeras pada regurgitasi mitral karena penyakit jantung rematik. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat pengisian cepat ke ventrikel kiri pada awal diastolik dan diikuti diastolic flow murmur karena volume atrium kiri yang besar mengalir ke ventrikel kiri.
b.      Pemerikasaan Penunjang atau Diagnostik
1.      Pemeriksaan darah
§  LED (Laju Endap Darah) tinggi sekali
§  Lekositosis
§  Nilai hemoglobin dapat rendah
2.      Pemeriksaan bakteriologi
§  Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
§  Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.
3.      Pemeriksaan radiologi
§  Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung.



B.     Diagnosa Keperawatan
Untuk menegakkan diagnosa pnyakit jantung reumatik digunakan kriteria Jones yang terdiri dari kriteria mayor dan minor.
a.       Kriteria Mayor
1.      Karditis. Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat, dan anoreksia. Tanda klinis karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis, adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung, dan tanda perikarditis.
2.      Artritis. Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot wajah dan ektremitas.
3.      Eritema marginatum. Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal, macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan wajah.
4.      Nodulus subkutan. Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 – 2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.
b.      Kriteria Minor
1.      Mempunyai riwayat menderita penyakit jantung reumatik atau demam reumatik.
2.      Artralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi;pasien sering suit menggerakkan tungkainya.
3.      Demam tidak lebih dari 39 derajat celcius.
4.      Leukositosis.
5.      Peningkatan Laju Endap Darah (LED).
6.      C-Reaksi Protein (CRP) positif.
7.      Gelombang P-R pada EKG memanjang.
8.      Peningkatan pulse/denyut jantung aat tidur.
9.      Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria  minor  dan 1 kriteria mayor harus ada pada saat yang bersamaan.

C.    Rencana Keperawatan
1.      Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium.
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung.
Intervensi
1.      Beri digoksin sesuai instruksi, dengan menggunakan kewaspadaan yang sudah ditentukan untuk mencegah toksisitas.
2.      Kaji tanda- tanda toksisitas digoksin (mual, muntah, anoreksia, bradikardia, disritmia)
3.      Seringkali diambil strip irama EKG
4.      Jamin masukan kalium yang adekuat
5.      Observasi adanya tanda-tanda hipokalemia
6.      Beri obat-obatan untuk menurunkan afterload sesuai instruksi Dapat meningkatkan curah jantung
Rasional
1.      Untuk mencegah terjadinya toksisitas
2.      Mengkaji status jantung
3.       Penurunan kadar kalium serum akan meningkatkan toksisitas digoksin

2.      Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.
Tujuan : Suhu tubuh normal (36 – 37’ C)
Intervensi
1.      Kaji saat timbulnya demam
2.      Observasi tanda-tanda vital : suhu, nadi, TD, pernafasan setiap 3 jam
3.      Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh
4.      Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang hal-hal yang dilakukan
5.      Jelaskan pentingnya tirah baring bagi klien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan
6.      Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 – 3 liter/hari dan jelaskan manfaatnya
7.      Berikan kompres hangat dan anjurkan memakai pakaian tipis
8.      Berikan antipiretik sesuai dengan instruksi
Rasional
1.      Dapat diidentifikasi pola/tingkat demam
2.      Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadan umum klien
3.      Penjelasan tentang kondisi yang dilami klien dapat membantu mengurangi kecemasan klien dan keluarga
4.      Untuk mengatasi demam dan menganjurkan klien dan keluarga untuk lebih kooperatif
5.      Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan klien di RS
6.      Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
7.      Kompres akan dapat membantu menurunkan suhu tubuh, pakaian tipis akan dapat membantu meningkatkan penguapan panas tubuh
8.      Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal

3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : ebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan.
Intervensi
1.      Kaji faktor-faktor penyebab
2.      Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup
3.      Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan
4.      Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah
5.      Ukur BB setiap hari
6.      Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien

Rasional
1.      Penentuan factor penyebab, akan menentukan intervensi/ tindakan selanjutnya
2.      Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan
3.      Menghindari mual dan muntah dan distensi perut yang berlebihan
4.      Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah
5.      BB merupakan indikator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi
6.       Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutrisi klien